(Sebuah Otokritik)

Guru, pada satu sisi eksistensinya sangat diperlukan sebagai agen dalam transfer ilmu dan pengetahuan, tetapi di sisi lain pengakuan akan eksistensinya seperti terabaikan bahkan oleh guru itu sendiri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kesejahteraan yang didapat sebagai guru bisa dibilang sangatlah kecil, sehingga gonjang-ganjingnya sampai harus melahirkan sebuah undang-undang khusus berupa Undang-Undang Guru dan Dosen. Ketika undang-undang tersebut telah lahir, setidaknya sampai saat ini, tidak serta merta memperbaiki nasib guru dan dosen. Selain persoalan kesejahteraan, pengakuan akan guru sebagai sebuah profesi pun di sebagian besar masyarakat kita masih sangat rendah. Masih banyak masyarakat yang menjadikan profesi guru sebagai profesi cadangan terakhir hanya untuk dilakoni ketika profesi-profesi lainnya tidak tercapai. Sebuah kondisi yang menyiratkan pandangan sebelah mata.

Padahal, guru adalah pihak yang langsung berhadapan dengan siswa. Melalui guru pula transfer ilmu dalam kegiatan persekolahan dilaksanakan. Dari hal tersebut kita bisa memandang bahwa peran guru sebagai garda depan sistem pendidikan persekolahan menjadi tak terbantahkan. Sehingga, pengaruhnya terhadap kehidupan pun menjadi sangat luas.

Sangat disayangkan pula ketika ternyata kalangan guru sendiri ikut pula mengabaikan eksistensi dirinya. Ia menjelma menjadi salah satu dari setidaknya empat duri pendidikan yang berada di garda depan perusak keberlangsungan pendidikan nasional.

Malptaktik
Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Jepang, yang digunakan oleh sebuah merk sepeda motor sebagai kearifan bagi para mekanik di bengkel-bengkelnya, bermakna kurang lebih “bahwa sebuah kesepakatan itu akan menjadi sebuah standar kerja”. Maksudnya adalah bahwa ketika konsumen atau pemilik sepeda motor bersangkutan hendak memperbaiki sepeda motornya, ia kemudian berdiskusi dengan sang montir tentang keluhan-keluhan yang dirasakan untuk kemudian disetujui berbagai upaya perbaikannya. Persetujuan upaya perbaikan inilah yang kemudian harus menjadi sebuah standar minimal bagi sang montir untuk melakukan tindakan perbaikan tersebut.

Ungkapan tersebut rasanya cukup mengena ketika diaplikasikan dalam dunia pendidikan kita, terutama bagi guru. Guru menjadi duri bagi dunia pendidikan adalah ketika disadari atau tidak ia telah mengembangkan atau melaksanakan sebuah malpraktik dalam kegiatan mengajarnya. Kaitannya dengan contoh di atas adalah bahwa kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru tersebut berada pada kisaran dibawah standar.

Acuan-acuan yang harus dijadikan standar oleh guru sebenarnya cukup tersedia, mulai dari tataran paling tinggi semisal UU Sisdiknas yang salah satunya mengisyaratkan disusunnya sebuah Standar Nasional Pendidikan, UUGD, dan PP No. 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sampai kepada tataran pelaksanaan seperti program tahunan, program semester, silabus, dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang notabene disusun oleh guru yang bersangkutan.

Dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tersebut, telah ditetapkan berbagai kriteria yang menjadi standar sebagai tenaga pendidik. Secara garis besar standar tersebut mensyaratkan tenaga pendidik memiliki kualifikasi akademik minimum dan sertifikasi profesi pendidik sesuai dengan jenjang pendidikan dimana ia mengajar, dan pada tingkat SMP/SMA harus memiliki latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Ketika hal tersebut tidak terpenuhi, ia tetap dapat menjadi tenaga pendidik asalkan memiliki keahlian khusus dan diakui dengan lulus uji kelayakan dan kesetaraan. Hal tersebut masih ditambah dengan keharusan memiliki kompetensi sebagai agen pembelajaran --pada jenjang pendidikan dasar dan menengah serta pendidikan anak usia dini-- yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Ketentuan-ketentuan lain secara lebih gamblang tertuang dalam UUGD. Undang-undang tersebut kemudian menjadi dasar acuan yang paling sahih tentang bagaimana dan seperti apa standar-standar yang harus dipenuhi oleh tenaga pendidik. Di dalamnya tertuang pula berbagai ketentuan tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab guru yang harus dipenuhi.

Sedangkan dalam program tahunan, program semester, silabus dan RPP, tercakup “kesepakatan” mengenai manajemen waktu dan materi yang akan disampaikan kepada peserta didik dengan didasarkan pada kurikulum yang telah ditetapkan. Hanya, sayang sekali dalam prakteknya di lapangan, perangkat pembelajaran tersebut tidak dipatuhi sebagaimana mestinya.

Standar-standar inilah yang seharusnya digunakan sebagai standar kerja minimal bagi guru dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di dalam kelas. Perubahan yang terjadi atau dilakukan pada saat kegiatan pembelajaran berjalan sangat dimungkinkan dengan tetap berpijak bahwa perubahan tersebut haruslah melebihi standar yang telah ada. Konsekuensinya adalah berbagai perangkat tersebut tidak hadir hanya sebatas formalitas demi pemenuhan pemeriksaan kelengkapan administrasi belaka, tetapi harus menjadi sebuah kontrak kerja yang harus dilaksanakan tanpa kecuali.

Sebagai sebuah contoh, mari kita renungkan ini! Tentunya masih segar dalam ingatan kita sebuah persoalan mengenai UN dan kelulusan siswa yang sampai saat ini masih tetap menghangat yang agaknya tidak akan pernah selesai sampai ada sebuah kebijakan drastis yang mengubah paradigma yang melandasinya. Guru pun bereaksi dengan memunculkan sebuah wacana baru bahwa UN sebenarnya harus dihapus, atau bisa juga tetap mengadakan UN tetapi dengan tidak mengaitkannya dengan kelulusan siswa.

Wacana tentang kelulusan siswa dan guru sebagai pihak yang lebih berhak dan lebih mengetahui assesment akhir seperti apa yang harus diterima seorang siswa yang menjadi muridnya, juga sebenarnya bukan sebuah pilihan untuk dijadikan sebagai dewa penolong. Karena kalau mau jujur, ketika hal tersebut dilakukan keadaan justru akan semakin menimbulkan gonjang-ganjing, setidaknya untuk saat ini. Apa pasal? Guru adalah sang penyebab.

Ya, kalau guru yang harus menentukan kelulusan seorang siswa untuk saat ini, keadaan justru akan menjadi terbalik dari apa yang terjadi sekarang ketika ada segelintir siswa yang dinyatakan tidak lulus UN. Yang terjadi adalah hanya segelintir siswa yang lulus, dan mayoritas tidak lulus. Dengan catatan, penentuan ini dilakukan dengan sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya. Cobalah kita, guru, renungkan ini, bahwa kita mengetahui sebenarnya sebagian besar dari anak didik kita tidak layak lulus bahkan dalam ulangan harian sekalipun. Jujurlah, bukankah dalam keseharian kita senantiasa mengatrol nilai-nilai anak didik kita dengan berbagai cara, entah itu dengan soal-soal ulangan yang mudah, konversi skor, atau bahkan penambahan skor dan standar ketuntasan yang rendah.

Idealnya, ketika menghadapi banyak siswa yang kemampuan akademiknya rendah, yang pertama harus dilakukan guru adalah mencoba mengubahnya dengan meningkatkan kemampuan mengajar, termasuk mengekplorasi pendekatan seperti apa yang harus dilakukan untuk merangsang perubahan pada diri siswa tersebut, dan bukannya dengan mengatrol nilai. Beribu alasan terutama berkaitan dengan kesejahteraan yang rendah sebagai penyebab keengganan guru melakukan riset dan mencoba menemukan metode-metode baru dalam kegiatan mengajarnya, seharusnya tidak pernah terucapkan. Riset mengenai hal tersebut tidaklah harus dalam sebuah waktu yang khusus, karena sebenarnya bisa dilakukan pada malam sebelum kita mengajar ketika kita menyiapkan bahan untuk diajarkan keesokan harinya dan bahkan pada saat kita di dalam kelas. Kita tidak satu kali menghadapi siswa tersebut, tapi pada banyak kesempatan, sehingga kita rasanya cukup mampu mengetahui keadaan siswa seberapa pun banyaknya siswa kita, dan kita cukup bisa menentukan siapa yang akan kesulitan dalam materi tertentu dan apa yang harus dilakukan.

Sedikit Lebih Cerdas
Inilah saatnya kita, para guru, untuk menjadi lebih cerdas. Banyak yang bisa kita lakukan untuk sedikit lebih ”cerdas” dari masa lalu. Tidak alergi dengan beragam buku dan sumber-sumber literatur lainnya rasanya merupakan hal yang paling mudah. Galilah informasi sebanyak-banyaknya, manfaatkan waktu kosong kita ketika rehat misalnya, dengan mengunjungi perpustakaan sekolah. Kalaupun tidak ada perpustakaan sekolah, rasanya di ruang guru pun banyak buku, majalah, dan surat kabar berserakan. Jangan hiraukan literatur yang akan kita baca itu terkelupas jilidnya, sobek pada beberapa bagian tertentu, atau debu tebal menyelimutinya. Tanamkan dalam benak kita, sebagaimana selalu kita tanamkan pada siswa kita, dengan membaca otak kita selalu dirangsang untuk berpikir. Buktikan bahwa membaca itu adalah kegiatan mental yang banyak mempengaruhi otak kita, dan mampu mengubah ketajaman daya analisis otak kita.

Pinjamlah beberapa buku, kita bawa pulang ke rumah. Sesibuk apapun kita di rumah, rasanya tidak sulit menyediakan 30 menit untuk membaca, atau kalau terlalu lama 15 menit juga tidak masalah. Tak perlu pada waktu-waktu yang khusus, setelah atau sebelum memasak, memberi makan hewan peliharaan, kegiatan bisnis sampingan, sebelum tidur dsb., bisa kita lakukan.

Hilangkanlah keengganan kita membaca literatur yang kita anggap tidak ada hubungannya dengan mata pelajaran yang kita ajarkan di kelas. Tak perlu ragu membaca buku-buku biologi walaupun kita mengajar bahasa, bukankah dari ilmu biologi kita bisa mengetahui perkembangan manusia misalnya, sehingga kita lebih mengerti keterkaitan usia dan kemampuan berbahasa. Atau guru biologi membaca buku-buku bahasa, setidaknya jadi lebih mengetahui tentang konsep-konsep komunikasi misalnya, sehingga kita jadi lebih mampu berkomunikasi dengan siswa dalam mengajarkan ilmu biologi yang jadi tanggung jawab kita.

Kita pun tahu saat ini dunia kita sudah memasuki abad teknologi informasi. Kenapa harus enggan membaca literatur tentang komputer hanya karena kita tidak bertugas mengajarkan komputer, atau hanya karena kita tidak bisa mengoperasikan komputer. Ambillah manfaatnya, kita jadi memiliki pengetahuan bahwa komputer bisa dimanfaatkan sebagai alat untuk kegiatan mengajar kita, bahkan sekedar untuk membuat siswa menjadi tertarik dan kemudian mengikuti pelajaran yang kita ajarkan dengan senang hati dan semangat. Tak bisa mengoperasikannya, kita belajar saja, atau minta bantuan guru lain yang menguasainya untuk menjadi operator misalnya. Istilahnya kita sudah mafhum, ”saling bantu”, ciptakanlah ”simbiosis mutualisme”.

Kembalilah kita ke riset. Apa yang kita baca janganlah kemudian menguap begitu saja atau mengendap tanpa ada usaha kita untuk memanfaatkannya. Supaya hal itu tidak terjadi, apa yang kita baca hendaklah kita analisis kembali. Tak perlu kita menganalisisnya di depan monitor komputer sambil jemari kita menekan tombol-tombol keybord jikalau hal itu tidak sempat atau tidak bisa kita lakukan, dengan catatan kecil pun tidak masalah, atau cukup dengan memikirkannya pun sah-sah saja.

Katakanlah kita hanya mampu memikirkannya karena berbagai keterbatasan waktu, tempat, biaya dan kemampuan dalam menterjemahkannya secara verbal atau literer. Cukup bagi kita untuk bisa menganalisis hasil bacaan kita tentang berbagai pendekatan, metode, tehnik, atau apapun namanya berkaitan dengan proses kegiatan belajar mengajar misalnya, dengan membiarkan pikiran kita menelusurinya tanpa kemudian menuliskannya dalam buku catatan atau merekamnya dalam kaset. Ingatan kita sebagai manusia cukup bisa diandalkan.

Kemudian, biarkan pikiran kita mengambil assesment, apa yang harus dilakukan dengan konsep-konsep tersebut. Perlukah kita mengujicobakan konsep-konsep yang kita baca itu dalam proses KBM, atau manipulasi dan modifikasi apa yang harus dilakukan sesuai dengan keadaan yang biasa kita hadapi di kelas dengan keberagaman kemampuan siswa. Rekamlah dalam otak kita, besoknya kita coba terjemahkan di kelas. Jangan putuskan mata rantai sampai di sana, hasil uji coba itu kita analisis kembali menjadi lebih luas bahkan ”liar” sekalipun, tambahkanlah informasi lainnya.

Idealnya memang kita seharusnya mampu merekam semua itu dalam bentuk lain seperti catatan atau rekaman dalam kaset. Paling baik adalah kita membuat resume analisa kita, kemudian menyusunnya dalam sebuah tulisan rapi berbentuk makalah, artikel, atau proposal. Hal itu akan menjadi sangat berguna untuk dijadikan bahan bacaan bagi kita dan rekan-rekan kita.

Manfaatkanlah simbiosis-mutualisme yang telah kita jalin dengan rekan-rekan guru yang lain untuk menanggulangi keterbatasan dalam hal tersebut. Kita diskusikan ketika kita berkumpul di ruang guru pada waktu istirahat, biarkan rekan kita yang lebih mampu menyusunnya dalam tulisan, lalu kita manfaatkan bersama-sama. Seandainya kita menginginkannya dalam bentuk artikel untuk dikirimkan ke surat kabar pun, kita tak perlu ragu menuliskannya walaupun kita kurang mampu membuat artikel yang ”benar” secara bahasa, karena ada editor surat kabar yang akan dengan senang hati menjadikannya sebuah tulisan yang menarik dan ”sesuai”.

Agaknya, ketika kita sudah mampu melakukan hal-hal tersebut, kemungkinannya sangat kecil untuk kita menjadi guru yang melakukan malpraktik. Kita menjadi terbiasa meningkatkan kemampuan dan kompetensi kita sehingga lebih terbiasa pula memenuhi dan meningkatkan standar-standar yang harus kita dan peserta didik hadapi.

Wallahu’alam bishowab.