KONSEP MASYARAKAT BAHASA
Definisi masyarakat bahasa yang dimaksudkan di sini tidak hanya berdasarkan pada perkembangan bahasa, tetapi berdasarkan pada sejarah, budaya, dan politik. Pada tahap abstraksi yang cukup tinggi ditempatkan ciri-ciri kelompok yang memiliki kesamaan agama, usia, kelompok etnis, dan di bidang linguistik terutama kesamaan bahasa atau variasi bahasa. Pada tahap abstraksi yang lebih rendah realitas bahasa tercermin melalui kelompok-kelompok yang bersemuka. Definisi masyarakat bahasa yang berdasarkan kesamaan bahasa akan menjadi bermasalah jika kita akan menjelaskan apa arti “menggunakan bahasa yang sama” dalam situasi nyata di suatu lingkungan bahasa.
Sebagai satuan dasar definisi dan pemahaman tentang masyarakat bahasa dapat berpegang pada bahasa-bahasa, kelompok sosial, jaringan sosial, hierarki dan individu-individu yang sekaligus merupakan gambaran secara hierarkis tahapan-tahapan abstraksi.
L. Bloomfield yang berdasarkan sistem bahasa yang monolitik berpendapat bahwa masyarakat bahasa adalah sekelompok orang yang menggunakan sistem tanda bahasa yang sama. Konsep linguistik yang hampir sama, yang dipengaruhi kuat oleh pendapat bahasa yang homogen adalah konsep Lyons tentang satuan dasar masyarakat bahasa (1970:326), menurut Lyons masyarakat bahasa adalah semua orang yang menggunakan suatu bahasa tertentu (dialek), Chomsky berpendapat bahwa Completely homogenous speech community membentuk satuan dasar analisis bahasa. Konsep Bloomfield, Lyons, maupun Chomsky yang menganggap satuan sosial dan budaya tidak penting tidak memenuhi syarat untuk penelitian empiris deskriptif-sosiolinguistik. Namun, seperti yang telah dikatakan, konsep-konsep dan definisi-definisi tergantung pada minat penelitian para linguis.
Dalam pengertian sosiolinguistik, definisi-definisi bahasa hampir tidak menyatakan sesuatu tentang keadaan sosial. Hymes (1966) menyalahkan Bloomfield, Chomsky, dan juga Lyons yang telah menyamaratakan konsep masyarakat bahasa dengan bahasa.
Abstraksi struktur yang menuntut homogenitas bahasa mungkin tepat, jika seorang linguis bermaksud menggambarkan tipologi bahasa, keuniversalan bahasa, sejarah suatu bahasa, atau rekonstruksi secara historis. Tetapi jika seorang linguis akan meneliti bahasa dalam situasi sosial, ia memerlukan alat-alat yang tepat untuk menganalisis dampak situasi sosial atau psikologis terhadap penggunaan bahasa. Karena manusia diefinisikan sebagai makhluk sosial oleh sekelilingnya yang terdiri atas kategori sosial, kita harus belajar memahami makhluk sosial ini melalui bahasanya (Halliday 1973:13ff). Namun demikian, seperti yang diteliti Gumperz (1971:101) dan dinyatakan olehnya bahwa untuk memhami penggunaan bahasa tidak diperlukan konsep homogen suatu bahasa: There are no apriori grounds which force us to define speech communities so thst sll members speak the same language.
Istilah masyarakat bahasa pada masa dialek Eropa klasik mengacu pada suatu konsep yang idealistis, tidak hanya bermakna kesatuan bahasa, tetapi lebih berarti kesatuan sosial-geografis. Landasan dasar yang idealistis terdiri dari kelompok sosial dan masyarakat bahasa yang homogen (Halliday, 1978:189): suatu masyarakat bahasa adalah suatu kelompok manusia (sosialgeografis), yang anggota-anggotanya (1) saling berkomunikasi, (2) secara teratur berkomunikasi, dan (3) mereka bertutur sama.
Berdasarkan anggapan bahwa terdapat hubungan korelasi antara perilaku berbahasa dengan syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektif, Matthier (1980:1819) mendefinisikan kelompok sosial sebagai pendukung perilaku berbahasa sebagai berikut. …… kelompok sosial yang terdiri dari individu-individu dengan syarat-syarat kehidupan bermasyarakat yang objektif secara potensial membentuk masyarakat komunikasi, prasyarat kehidupan bermasyarakat yang objektif dan keadaan-keadaan lain yang objektif diinterpretasikan dengan cara yang sama. Kelompok individu ini dianggap membentuk sistem perilaku sosial dan bahasa yang hampir sama. Berdasarkan hal ini Mattheier mengembangkan definisi paguyuban bahasa yang bersifat dialek-sosiologis, yang harus dilihat dalam kaitannya dengan kelompok yang bersangkutan dan tergantung dari minat peneliti dapat dianalisis tahap-tahap tiap sistem atau bagian-bagian sistem yang berbeda.
Sebagai masyarakat bahasa, untuk sementara dapat berarti kelompok penutur yang berdasarkan pandangan hidup mereka membentuk kelompok berdasarkan bahasa yang sama. Titik tolak definisi Mattheire kelompok sosial dan bahasa namun, dalam definisi ini objektivitas bahasa yang sama bersifat relatif. Sehubungan dengan tahap abstraksi, telah kita tinggalkan tahap makro dan kita sampai kepada komunikasi bersemuka yang nyata.
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN SIKAP SOSIAL
Model paguyuban bahasa yang klasik tidak dapat mencakup perubahan dialek perkotaan yang cepat. Bentuk yang diidealisasikan tidak cukup mencerminkan realitas. Labov menyimpulkan bahwa anggota masyarakat bahasa perkotaan lebih diikat oleh sikap dan prasangka yang sama dalam berbahasa, yang luar biasa stabil dibandingkan dengan ikatan pemakaian bahasa yang sama (1972:293). Menurut Labov pada kenyataannya sangat jelas bahwa masyarakat bahasa didefinisikan sebagai sekelompok penutur yang memiliki sederetan sikap sosial terhadap bahasa. Misalnya, seorang yang berasal dari New York (orang dari kota besar) memiliki gambaran yang jelas tentang norma-norma bahasa dan ia mengetahui jika ia menyimpang dari norma yang ada. Terdapat perbedaan antara (1) apa yang dikatakan, (2) apa yang diyakini, dan (3) apa yang diyakini untuk dikatakan.
Titik tolak Labov adalah orientasi ke status yang dimulai dari kelompok sosial (kelompok makro) dan pada tiap kelompok berkembang ke arah yang sama. Penyimpangan norma pada lapisan sosial bawah lebih jauh dibandingkan dengan lapisan sosial menengah dan atas karena itu mereka juga memiliki lebih banyak variasi.
Seberapa jauh konep makro kuantitatif mencerminkan realitas sosial yang masih harus didiskusikan. Hal itu dapat dilakukan pada data empiris dalam jumlah yang besar. Hymes (1972) juga memberikan pendapatnya tentang definisi dasar masyarakat bahasa. Mereka menekankan bahwa perasaan menjadi anggota suatu paguyuban lebih menentukan daripada definisi linguistik.
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN INTERAKSI
Gumpertz mendefinisikan masyarakat bahasa (pada masa yang lampau) ke arah komunikatif interaksi, yang dalam analisis fungsional berpangkal pada varietas bahasa suatu masyarakat bahasa yang khas sebagai kelompok sosial, dan bukan dari kesatuan bahasa. Definisi Gumpertz juga memungkinkan beberapa varietas bahasa hidup berdampingan: kita definisikan masyarakat bahasa sebagai kelompok sosial yang monolingual atau multilingual, yang merupakan satu kesatuan karena sering terjadi interaksi sosial dan yang dipisahkan dari sekelilingnya oleh interaksi sosial yang melemah. Masyarakat bahasa dapat terdiri atas kelompok kecil yang hubungannya bersemuka atau terdiri dari seluruh bahasa, tergantung dari tingkat abstraksi yang akan dicapai (Gumpertz 1962:101).
Selanjutnya Gumpertz menyatakan bahwa dari segi fungsi tidak ada perbedaan antara bilingualisme dengan bidialektalisme. Gumpertz dalam definisi selanjutnya tentang masyarakat bahasa menekankan bahwa di samping kriteria interaksi juga berperan persamaan dan perbedaan varietas sebagai unsur sosial definisi umum analisis bahasa: masyarakat bahasa adalah sekelompok manusia yang terbentuk melalui interaksi bahasa yang teratur dan sering dengan bantuan persediaan tanda-tanda bahasa yang dimiliki bersama dan yang dipisahkan dari kelompok lain karena perbedaan-perbedaan dalam berbahasa (Gumpertz, 1968:14). Konsep Gumpertz memiliki keuntungan sebagai berikut: a) untuk satu masyarakat bahasa tidak hanya berlaku satu bahasa, b) penekanan pada interaksi dan komunikasi sebagai unsur pembentuk masyarakat bahasa sebagai hasil bilingualisme, dengan sendirinya tidak terjadi tumpang tindih, dan c) kompleksitas masyarakat perkotaan telah diperhitungkan dalam konsep.
Jika kita mengemukakan satu kota besar sebagai satu masyarakat bahasa yang penduduknya menggunakan sebagian besar dari waktu mereka untuk berkomunikasi dan varietas bahasa tentu saja sebagai bagian pembentuk kota dan orang selalu menunjuk pada lembaga, data dan lokasi, pola mobilitas, bentuk-bentuk interaksi sosial yang khas untuk kehidupan perkotaan, terlihat bahwa masyarakat bahasa merupakan satu istilah yang sangat umum. Supaya pengertian istilah masyarakat bahasa digunakan seperti yang dipakai oleh Gumpertz, harus kita tentukan keanggotaan tiap kelompok, terutama yang memiliki arti bagi mereka, hal ini berarti bahwa kita harus membentuk tahap-tahap interaksi sosial dan menganalisis kesatuan-kesatuan yang terbentuk. Mula-mula Gumpertz untuk dapat merealisasikan hal di atas menggunakan konsep peran sosial, kemudian ia memakai istilah jaringan sosial untuk meneliti hubungan antaranggota suatu jaringan sosial. Tujuan konsep jaringan sosial untuk menunjukkan mekanisme yang mempengaruhi repertoire bahasa penutur; yang disebabkan oleh faktor-faktor sosial-ekologi.
Sesuai dengan konsep (baru) Gumpertz tentang masyarakat bahasa, ia membandingkan konsep kode bahasa yang homogen dengan konsepnya tentang repertoir verbal/linguistis yang agaknya bertitik tolak dari tingkat langue ke parole. Keseluruhan dialek dan varietasnya yang digunakan secara teratur dalam suatu masyarakat membentuk repertoire bahasa masyarakat ini. Repertoire merupakan kekhasan penduduk suatu daerah, sedangkan batas suatu bahasa dapat sama ataupun tidak sama dengan batas suatu kelompok sosial (1968:230).
Keunggulan konsep repertoire bahasa, konsep tersebut memungkinkan kita untuk menghubungkan antara struktur sosial dan penggunaan bahasa suatu masyarakat bahasa di bawah satu kerangka relasi yang sama. Dalam hal ini, justru Kloss mengeritik istilah yang digunakan Gumpertz. Ia mengeritik bahwa Gumpertz memberikan makna lain pada istilah masyarakat bahasa yang diciptakan oleh Kloss, masyarakat bahasa diartikan sama dengan speech community yang digunakan oleh Bloomfield, sehingga menyebabkan kerancuan. Masyarakat bahasa menurut Kloss adalah keseluruhan penutur yang berbahasa ibu sama dan memiliki bersama diasistem tertentu dalam perbedaan dialektal dan sosiolektal.
Kloss menekankan pentingnya satu istilah untuk keseluruhan manusia yang memiliki bahasa-bahasa ibu yang sama dan yang membentuk keadaan tersebut. Ia mengusulkan istilah komunitas repertorium (paguyuban repertorium) (Kloss 1977:228). Dengan demikian, paguyuban bahasa berarti memiliki bahasa ibu yang sama atau yang mirip. Dalam kepustakaan yang berbahasa Jerman digunakan istilah paguyuban pertuturan (sprechgemeinschaft) untuk paguyuban repertorium (repertoiregemeinschaft), yang berarti sekelompok penutur yang tidak hanya memiliki varietas repertorium yang sama, tetapi juga kriteria yang sama untuk mengukur penerapan kaidah-kaidah tersebut secara sosial. Dalam etnografi komunikasi konsep paguyuban pertuturan mencakup keseluruhan kebiasaan komunikasi suatu paguyuban, dalam hal ini termasuk bahasa sebagai alat komunikasi dikaitkan dengan yang lain (Coulmas 1979:10).
MASYARAKAT BAHASA BERDASARKAN JARINGAN SOSIAL
Jaringan sosial sebagai substratum paguyuban bahasa sebagai titik tolak analisis bahasa dalam sosiolinguistik dikenalkan untuk menganalisis komunikasi sehari-hari dan konvensi interaksi. Dalam hal ini jaringan hubungan seorang individu termasuk di dalamnya dan kesatuan kelompok sosialnya merupakan phenomena dalam berbagai tataran abstraksi.
Gumpertz memperhitungkan hal ini dan memasukkan dalam konsep mikronya, paguyuban bahasa (pada tataran abstraksi yang terendah), dan konsep jaringan sosial. Dengan bantuan konsep ini sebagai soerang linguis, ia akan meneliti perilaku bahasa dalam suatu paguyuban dengan memperhatikan interpretasi norma dan nilai yang sesuai dengan kenyataan.
Paguyuban bahasa terdiri atas sederet satuan dasar, jaringan-jaringan yang dapat diikuti oleh seorang anggota paguyuban dalam berbagai tingkat dan lebih dari satu peran. Salah satu penyebab utama dikenalkannya konsep jaringan sosial dalam kerangka studi paguyuban bahasa karena konsep makro yang tradisional untuk menganalisis paguyuban yang berubah dengan lambat dan agak statis (suku-suku bangsa, paguyuban-paguyuban pedesaan) tidak tepat untuk menganalisis agregat kota yang berubah dengan cepat. Konsep jaringan sosial mencoba mencakup variabel manusia sebagai makhluk sosial yang dipengaruhi oleh orang lain dan mempengaruhi orang lain.
Jika Gumpertz membedakan antara biner antara jaringan sosial tertutup dengan terbuka, Milroy (1980, passim) mengembangkan perbedaan biner terbuka, tertutup dalam suatu kesinambungan, mulai lebih terbuka atau agak terbuka dipertentangkan dengan lebih tertutup atau agak tertutup dengan menggunakan parameter rapatnya, kelompok dan keanekaragaman. Suatu paguyuban lebih rapat, jika antar anggotanya lebih terikat. Rapatnya jaringan sosial berfungsi sebagai mekanisme pelestarian norma, kelompok merupakan segmen jaringan dengan kerapatan yang tinggi. Hubungan sosial dalam kelompok lebih rapat daripada di luar kelompok. Keanekaragaman sebagai ukuran kekhasan interaksi suatu jaringan: apakah ikatan antaranggota hanya berdasarkan satu fungsi (uniplex) atau berdasarkan fungsi ganda (multiplex).
Penting untuk pembatas jaringan selain bentuk interaksi, bentuk kunjungan, hubungan kekerabatan, hal-hal yang oleh Gumpertz disebut self recruitment paguyuban (1971:297). Dengan demikian, kelompok jaringan tertutup (atau yang oleh saviller-Troike (1982:20) disebut hand shelled communities) cenderung seragam dalam penggunaan bahasa, a.l. karena wilayah yang ketat daripada jaringan terbuka (soft shelled communities) yang ikatan antaranggotanya lebih longgar dan batas wilayah tidak ketat. Manfaat alat analisis jaringan terutama karena kemungkinan yang dimilikinya untuk menggabungkan varietas dalam struktur sosial dengan varietas dalam penggunaan bahasa, artinya varietas yang disebabkan oleh lingkungan dan tahap abstraksi yang rendah dihubungkan dengan varietas bahasa.
MASYARAKAT BAHASA SEBAGAI INTERPRETASI SUBJEKTIF-PSIKOLOGIS
Bolinger (1975:33) menunjukkan kompleksitas yang bersifat psikologis dan ciri subjektif konsep paguyuban bahasa, ia mengemukakan: tidak ada batas untuk cara manusia berkelompok guna mencari jati diri, keamanan, keuntungan, hiburan, kepercayaan atau tujuan lain secara bersama, sebagai akibat hal ini tidak ada batasan sehubungan dengan jumlah dan keanekaragaman paguyuban bahasa yang kita jumpai dalam masyarakat kita. Setiap populasi menurut definisi Bolinger dapat terdiri atas sejumlah besar paguyuban bahasa, yang sehubungan dengan keanggotaan dan varietas bahasanya tumpang tindih. Realitas psikologis paguyuban bahasa yang tergantung dari interpretasi angota-anggotanya diperhitungkan dalam pendapat Le Page (1968), baginya keberadaan kelompok sebagai paguyuban bahasa dengan ciri-ciri khusus yang digolongkan oleh penutur sendiri, bukan oleh sosiolog penting. Tergantung bagaimana seorang penutur menempatkan dirinya dalam ruang yang multidimensi (Hudson, 1980:27), ia ikut berpartisipasi dalam berbagai paguyuban bahasa yang dimensi atau perbandingan luasnya ditentukan oleh kelompok di sekelilingnya. Setiap penutur menciptakan sistem perilaku bahasanya yang mirip dengan kelompok tempat ia ingin mengidentifikasikan dirinya dari waktu ke waktu, dengan syarat a) ia dapat mengidentifikasikan dirinya ke kelompok tersebut, b) ia memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengamati dan menganalisis perilaku mereka, c) memiliki motivasi yang kuat dan merasa berkewajiban untuk memilih dan mengubah perilakunya, dan d) ia masih sanggup menyesuaikan perilakunya.
Le Page menginterpretasikan ujaran manusia sebagai pernyataan jati diri individu karena itu individu adalah sah sebagai titik tolak penelitian sosiolinguistik. Le Page dapat membuktikan bahwa analisis perilaku bahasa individu tidak berarti suatu kekacauan. Dasar pandangan yang multidimensi diperoleh melalui kajian paguyuban yang multilingual, dalam kajian ini perlu memperhatikan sejumlah sumber yang mempengaruhi penggunaan bahasa seseorang. Ia menekankan bahwa seorang penutur merupakan dasar sumber bahasa yang ada dan digunakan untuk mengidentifikasikan dengan paguyuban-paguyuban tertentu.
MASYARAKAT BAHASA DI INDONESIA
Tanggal 18 Maret 1996 Prof. Dr. Wardiman Djojonegoro, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia membuka dengan resmi Seminar Kebahasaan dan kesusasteraan menyangkut bahasa Indonesia , Malaysia, dan Brunai Darusalam. Seminar diadakan di Padang, Sumatra Barat selama 3 hari. Pada acara pembukaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. mengungkapkan data-daya tentang profil kemampuan berbahasa Indonesia sebagai berikut.
Jumlah penutur bahasa Indonesia sebesar 153 juta di antara ±175 juta penduduk Indonesia di atas 5 tahun pada tahun 1995 merupakan “masyarakat bahasa Indonesia” di Indonesia.
Dari bahasa-bahasa yang ada di Indonesia terdapat 11 bahasa utama dengan patokan jumlah penutur > 1 juta orang. jika penutur > 10 juta orang dipakai sebagai rujukan, maka hanya 4 masyarakat bahasa paling utama, yaitu masyarakat bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Melayu.
Jika fungsi bahasa yang dipakai sebagai rujukan, maka 19 bahasa yang lebih berperan di Indonesia, karena digunakan untuk lebih dari satu tujuan, yaitu : bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Malay Dialects, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Mandaar, Minahasa, Gorontalo, Halmahera, Nias, Sangir, Toraja, dan Bima.
Bila bahasa tulisan yang dijadikan patokan, maka hanya terdapat 13 masyarakat bahasa di Indonesia, yaitu: bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, Madura, Makasar, Minangkabau, Batak, Bali, Aceh, Sasak, Nias, Sangir, dan Toraja.